Akhir-akhir ini, pedebatan alot tentang RUU Ormas kembali mengemuka. Pasal
yang masih menjadi perdebatan di tubuh Pansus RUU Ormas diantaranya adalah rencana dicantumkannya kembali Pancasila dan UUD 1945 sebagai
asas organisasi, untuk menggantikan pasal dalam UU tentang Partai Politik
maupun Ormas yang sebelumnya dinyatakan bahwa asas partai maupun parpol cukup
dinyatakan tidak bertentangan dengan Pancasila.
Gagasan Pancasila
sebagai asas ormas maupun parpol yang diusung partai-partai sekuler hingga saat
ini belum disepakati oleh semua anggota Pansus RUU Ormas diantaranya Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), karena penyeragaman ideologi secara ketat melalui asas
tunggal Pancasila terhadap parpol maupun ormas sosial keagamaan dinilai akan
membuka trauma asas
tunggal Pancasila yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru di masa lalu. Pada
era 80 an hubungan antara umat Islam dan negara berjalan tidak harmonis. Dengan asas tunggal ini banyak kelompok Islam yang
terpojokkan saat itu, menolak asas tunggal dicap sebagai anti-Pancasila. Pengalaman
inilah yang membuat trauma dan memicu sensivitas dari berbagai elemen bangsa
ketika mendengar dan mencium apapun yang berbau Pancasila.
Di internal ummat Islam, gagasan
Pancasila sebagai asas Ormas atau Parpol juga memancing pro-kontra. Seperti
diberitakan di harian Republika hari Senin (25/3/2013), Mendagri Gamawan Fauzi
menyatakan mendapat dukungan dari 13 ormas Islam yang tergabung dalam LPOI
perihal pancasila yang ‘wajib’ jadi asas ormas sebagaimana di era Orde Baru.
Disebutkan, 13 ormas Islam yang
tergabung dalam LPOI adalah NU, Persis, Al-Irsyad al-Islamiyah, al-Ittihadiyah,
Matlaul Anwar, Ar-Rabithah al-Alawiyah, al-Washliyah, Az-Zikra, Syarikat
Islam Indonesia, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), IKADI, Perti, dan
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Merespon hal itu, Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII) dan Majelis Az Zikra, ormas Islam Persatuan
Islam (PERSIS) membantah ikut terlibat sebagai bagian dari 13 Ormas Islam yang
mendukung asas tunggal Pancasila RUU Ormas.
Respon Muhammadiyah terhadap RUU Ormas juga sama. Bahkan, Pimpinan Pusat
Muhammadiyah dalam pernyataan sikapnya tentang RUU Ormas belum lama ini
menyatakan Draft RUU Ormas yang dibahas DPR, potensial membatasi kebebasan
berserikat, memperlemah kreativitas dan
perilaku represif dari aparatur pemerintah yang bertentangan dengan UUD 1945
dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Muhammadiyah juga mendesak
kepada DPR untuk menghentikan seluruh proses pembuatan RUU Ormas yang potensial
menimbulkan kegaduhan dan instabilitas politik, terutama menjelang pemilu 2014
yang memerluka suasana yang kondusif, stabil dan dinamis.
Kalangan Salafy (Ahlus Sunnah) lebih memilih apolitis, mereka melarang
pembentukan ormas keagamaan dan partai politik di negeri kaum muslimin yang
dipimpin oleh seorang penguasa muslim. Ahlus Sunnah melarang hal tersebut
karena beberapa alasan. Di antara alasan pokoknya adalah adalah terpecahnya
kaum muslimin menjadi berbagai aliran keagamaan atau pun berbagai partai
politik adalah fenomena yang memilukan sekaligus perilaku yang terlarang karena
bertabrakan dengan berbagai ayat al Qur’an dan berbagai hadits Nabi di
antaranya: Yang artinya, “Berpegang
teguhlah kalian semua dengan agama Allah dan janganlah kalian berpecah belah”
(QS ali Imran:103).
Perbedaan Perspektif
Ada perbedaaan perspektif dalam
memahami Pancasila, ada yang menafsirkan Pancasila sebagai dasar negara (common platform) saja, ada juga yang menafsirkan Pancasila juga
sekaligus sebagai asas organisasi.
Menarik, apa yang disampaikan Gerakan
Pemantapan Pancasila (GPP) saat mengeluarkan pernyataan sikap yang
ditandatangani oleh 39 tokoh nasional diantaranya Try Sutrisno, bahwa Pancasila
adalah dasar negara, bukan pilar. GPP mengusulkan kepada MPR untuk melakukan
revisi program “empat pilar” dan memantapkan Pancasila sebagai dasar negara.
(Harian Pelita, Kamis 28 Maret 2013).
Secara normatif, Pancasila memang
hanya dasar negara atau kesepakatan antar kelompok di masyarakat Indonesia yang
diakui memang berbeda-beda. Hanya sayangnya pada tataran praktis, Pancasila
sering digunakan untuk menghantam kelompok Islam. Contoh rezim Soeharto yang
menciptakan asas tunggal, seolah-olah Pancasila itu adalah ideologi. Pada era
kini, kelompok-kelompok yang anti terhadap kekuatan Islam sering memprovokasi
kelompok Islam sebagai kelompok yang pancasilais.
Padahal hal ini kurang tepat,
karena masing-masing kelompok berhak mempunyai ideologi. Ideologi adalah
pandangan hidup, apa lagi dalam sistem demokrasi ini, setiap warga negara atau
kelompok berhak memakai ideologi atau asas masing-masing. Pancasila harus
ditempatkan sebagai dasar negara saja dan bukan ideologi. Oleh karena ini
masalah hak asasi dan prinsipil maka negara tidak boleh intervensi terlalu jauh
terhadap masalah asas ini. Jika Pancasila dijadikan asas tunggal, maka hal ini
menjadi salah kaprah. Tidaklah mungkin ideologi ini diseragamkan. Dan dipaksakan
pun tidak mungkin.
Karena ideologi yang tersebar di
masyarakat berbeda-beda. Secara sederhana misalnya, ada Islam, Kapitalisme
(identik dengan liberal), Nasionalisme, dan Sosialisme. Yang tidak
diperbolehkan hadir di Indonesia adalah Komunisme, karena komunisme tidak
mengakui adanya Tuhan, oleh karena itu bertentangan dengan Pancasila. Dan
tidaklah mungkin ideologi orang dapat berubah sekalipun orang tersebut dipenjara.
Sebagai contoh, Sayyid Qutb ketika dipenjara oleh pemerintah Mesir, atau Abu
Bakar Ba’asyir yang masih di penjara hingga saat ini oleh Pemerintah RI, tidak
akan mungkin mengubah ideologi seseorang.
Yang menjadi masalah adalah
politik atau pertarungan kekuasaan, banyak elit politik sekuler yang selalu
memojokkan kelompok Islam dengan mempertentangkan Pancasila dan agama.
Seolah-olah kelompok Islam tidak pancasilais, padahal tentu saja dua obyek ini
berbeda, yang satu adalah dasar negara (pancasila), yang satu lagi adalah
ideologi (Islam). Isu ini dihembuskan agar kelompok Islam menjadi marginal
dalam politik nasional. Sayangnya, banyak pula di antara kita yang termakan
dengan isu ini.
Yah, tampaknya tidak semua elemen
masyarakat sepakat bahwa common platform
adalah berbeda dengan ideologi. Sepertinya asas Pancasila hendak
"dipaksakan", untuk mengambangkan keyakinan semua umat beragama
dengan dalih dasar negara Pancasila, sehingga setiap pemeluk agama tidak boleh
menyatakan keyakinannya secara khusus di dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Jika RUU Ormas bermaksud menggantikan Undang-undang
Ormas 1985 yang menetapkan asas tunggal Pancasila justru akan menjadi
kontraproduktif. Maka, kalau nanti Ormas Islam ingin menampilkan asas Islam,
seharusnya itu dianggap tidak bertentangan dengan Pancasila dan diapresiasi sebagai bentuk kemajemukan. Alangkah baiknya,
para penggagas RUU Ormas harus berfikir jernih, yakni tidak perlu mengungkap
persoalan lama yang mempertentangan Pancasila dan agama, karena masalahnya
sudah jelas dan final. Sehingga, asas tunggal Pancasila jangan dipaksakan dalam
ormas maupun parpol. Sebab asas tunggal Pancasila tidak sejalan dengan
semangat reformasi.
Lalu, pembahasan RUU Ormas kalau tidak urgent dan malah membuka luka lama,
buat apa diteruskan?***Wallahu a’lam. [Abu
Hylmi]
Posting Komentar