Diberdayakan oleh Blogger.
 
Senin, 01 April 2013

RUU Ormas dan Trauma Masa Lalu

0 komentar

Akhir-akhir ini, pedebatan alot tentang RUU Ormas kembali mengemuka. Pasal yang masih menjadi perdebatan di tubuh Pansus RUU Ormas diantaranya adalah rencana dicantumkannya kembali Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas organisasi, untuk menggantikan  pasal dalam UU tentang Partai Politik maupun Ormas yang sebelumnya dinyatakan bahwa asas partai maupun parpol cukup dinyatakan tidak bertentangan dengan Pancasila.

Gagasan Pancasila sebagai asas ormas maupun parpol yang diusung partai-partai sekuler hingga saat ini belum disepakati oleh semua anggota Pansus RUU Ormas diantaranya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), karena penyeragaman ideologi secara ketat melalui asas tunggal Pancasila terhadap parpol maupun ormas sosial keagamaan dinilai akan membuka trauma asas tunggal Pancasila yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru di masa lalu.  Pada era 80 an hubungan antara umat Islam dan negara berjalan tidak harmonis. Dengan asas tunggal ini banyak kelompok Islam yang terpojokkan saat itu, menolak asas tunggal dicap sebagai anti-Pancasila. Pengalaman inilah yang membuat trauma dan memicu sensivitas dari berbagai elemen bangsa ketika mendengar dan mencium apapun yang berbau Pancasila.

Di internal ummat Islam, gagasan Pancasila sebagai asas Ormas atau Parpol juga memancing pro-kontra. Seperti diberitakan di harian Republika hari Senin (25/3/2013), Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan mendapat dukungan dari 13 ormas Islam yang tergabung dalam LPOI perihal pancasila yang ‘wajib’ jadi asas ormas sebagaimana di era Orde Baru.

Disebutkan, 13 ormas Islam yang tergabung dalam LPOI adalah NU, Persis, Al-Irsyad al-Islamiyah, al-Ittihadiyah, Matlaul Anwar, Ar-Rabithah al-Alawiyah, al-Washliyah,  Az-Zikra, Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), IKADI, Perti, dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

Merespon hal itu,  Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia  (DDII) dan Majelis Az Zikra, ormas Islam Persatuan Islam (PERSIS) membantah ikut terlibat sebagai bagian dari 13 Ormas Islam yang mendukung asas tunggal Pancasila RUU Ormas.

Respon Muhammadiyah terhadap RUU Ormas juga sama. Bahkan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam pernyataan sikapnya tentang RUU Ormas belum lama ini menyatakan Draft RUU Ormas yang dibahas DPR, potensial membatasi kebebasan berserikat, memperlemah kreativitas  dan perilaku represif dari aparatur pemerintah yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Muhammadiyah juga mendesak kepada DPR untuk menghentikan seluruh proses pembuatan RUU Ormas yang potensial menimbulkan kegaduhan dan instabilitas politik, terutama menjelang pemilu 2014 yang memerluka suasana yang kondusif, stabil dan dinamis.

Kalangan Salafy (Ahlus Sunnah) lebih memilih apolitis, mereka melarang pembentukan ormas keagamaan dan partai politik di negeri kaum muslimin yang dipimpin oleh seorang penguasa muslim. Ahlus Sunnah melarang hal tersebut karena beberapa alasan. Di antara alasan pokoknya adalah adalah terpecahnya kaum muslimin menjadi berbagai aliran keagamaan atau pun berbagai partai politik adalah fenomena yang memilukan sekaligus perilaku yang terlarang karena bertabrakan dengan berbagai ayat al Qur’an dan berbagai hadits Nabi di antaranya: Yang artinya, “Berpegang teguhlah kalian semua dengan agama Allah dan janganlah kalian berpecah belah” (QS ali Imran:103).

Perbedaan Perspektif

Ada perbedaaan perspektif dalam memahami Pancasila, ada yang menafsirkan Pancasila sebagai dasar negara (common platform) saja,  ada juga yang menafsirkan Pancasila juga sekaligus sebagai asas organisasi.

Menarik, apa yang disampaikan Gerakan Pemantapan Pancasila (GPP) saat mengeluarkan pernyataan sikap yang ditandatangani oleh 39 tokoh nasional diantaranya Try Sutrisno, bahwa Pancasila adalah dasar negara, bukan pilar. GPP mengusulkan kepada MPR untuk melakukan revisi program “empat pilar” dan memantapkan Pancasila sebagai dasar negara. (Harian Pelita, Kamis 28 Maret 2013).

Secara normatif, Pancasila memang hanya dasar negara atau kesepakatan antar kelompok di masyarakat Indonesia yang diakui memang berbeda-beda. Hanya sayangnya pada tataran praktis, Pancasila sering digunakan untuk menghantam kelompok Islam. Contoh rezim Soeharto yang menciptakan asas tunggal, seolah-olah Pancasila itu adalah ideologi. Pada era kini, kelompok-kelompok yang anti terhadap kekuatan Islam sering memprovokasi kelompok Islam sebagai kelompok yang pancasilais.

Padahal hal ini kurang tepat, karena masing-masing kelompok berhak mempunyai ideologi. Ideologi adalah pandangan hidup, apa lagi dalam sistem demokrasi ini, setiap warga negara atau kelompok berhak memakai ideologi atau asas masing-masing. Pancasila harus ditempatkan sebagai dasar negara saja dan bukan ideologi. Oleh karena ini masalah hak asasi dan prinsipil maka negara tidak boleh intervensi terlalu jauh terhadap masalah asas ini. Jika Pancasila dijadikan asas tunggal, maka hal ini menjadi salah kaprah. Tidaklah mungkin ideologi ini diseragamkan. Dan dipaksakan pun tidak mungkin.

Karena ideologi yang tersebar di masyarakat berbeda-beda. Secara sederhana misalnya, ada Islam, Kapitalisme (identik dengan liberal), Nasionalisme, dan Sosialisme. Yang tidak diperbolehkan hadir di Indonesia adalah Komunisme, karena komunisme tidak mengakui adanya Tuhan, oleh karena itu bertentangan dengan Pancasila. Dan tidaklah mungkin ideologi orang dapat berubah sekalipun orang tersebut dipenjara. Sebagai contoh, Sayyid Qutb ketika dipenjara oleh pemerintah Mesir, atau Abu Bakar Ba’asyir yang masih di penjara hingga saat ini oleh Pemerintah RI, tidak akan mungkin mengubah ideologi seseorang.

Yang menjadi masalah adalah politik atau pertarungan kekuasaan, banyak elit politik sekuler yang selalu memojokkan kelompok Islam dengan mempertentangkan Pancasila dan agama. Seolah-olah kelompok Islam tidak pancasilais, padahal tentu saja dua obyek ini berbeda, yang satu adalah dasar negara (pancasila), yang satu lagi adalah ideologi (Islam). Isu ini dihembuskan agar kelompok Islam menjadi marginal dalam politik nasional. Sayangnya, banyak pula di antara kita yang termakan dengan isu ini.

Yah, tampaknya tidak semua elemen masyarakat sepakat bahwa common platform adalah berbeda dengan ideologi. Sepertinya asas Pancasila hendak "dipaksakan", untuk mengambangkan keyakinan semua umat beragama dengan dalih dasar negara Pancasila, sehingga setiap pemeluk agama tidak boleh menyatakan keyakinannya secara khusus di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Jika RUU Ormas bermaksud menggantikan Undang-undang Ormas 1985 yang menetapkan asas tunggal Pancasila justru akan menjadi kontraproduktif. Maka, kalau nanti Ormas Islam ingin menampilkan asas Islam, seharusnya itu dianggap tidak bertentangan dengan Pancasila dan diapresiasi  sebagai bentuk kemajemukan. Alangkah baiknya, para penggagas RUU Ormas harus berfikir jernih, yakni tidak perlu mengungkap persoalan lama yang mempertentangan Pancasila dan agama, karena masalahnya sudah jelas dan final. Sehingga, asas tunggal Pancasila jangan dipaksakan dalam ormas maupun parpol. Sebab asas tunggal Pancasila tidak sejalan dengan  semangat reformasi.

Lalu, pembahasan RUU Ormas kalau tidak urgent dan malah membuka luka lama, buat apa diteruskan?***Wallahu a’lam. [Abu Hylmi]

Entri Populer

 
News & Artikel Abu Hylmi © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

You can add link or short description here