SALAH satu legenda yang hingga saat
ini masih sering diceritakan kepada anak-anak ketika di taman kanak-kanak
hingga sekolah dasar, dan bahkan menjadi cerita pengantar tidur, ialah legenda
bawang merah dan bawang putih. Cerita itu memberikan hikmah penting yang
mengajarkan bahwa kebaikan akan mengalahkan kebatilan, kesabaran akan
mengalahkan ketamakan.
Anak-anak diberikan metamorfosis
yang indah dengan liku-liku cerita yang menarik di dalamnya. Apa hubungan
legenda bawang merah dan bawang putih tersebut dengan gonjang-ganjing komoditas
bawang merah dan bawang putih?
Beberapa minggu terakhir ini legenda
bawang merah dan bawang putih menjelma menjadi satu permasalahan serius yang
menyita banyak perhatian publik. Keluhan para ibu yang berbelanja di pasar
hingga perhatian khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk turun langsung
mengatasi gejolak harga yang di luar batas kewajaran. Bawang merah dan bawang
putih tidak sebatas kebaikan versus kebatilan, kesabaran versus ketamakan,
tetapi lebih dari sekadar persoalanpersoalan itu. Apa yang salah de ngan bawang
merah dan bawang putih?
Fakta dan Masalah
Berikut digambarkan fakta terkait
dengan komoditas bawang merah dan bawang putih. Produksi bawang merah Indonesia
selama kurun waktu 5 tahun terakhir menunjukkan produksi yang relatif stabil di
atas 800 ribu ton. Artinya bahwa sisi pasokan tidak pernah mengalami gejolak
yang dapat mengakibatkan guncangan di sisi harga apabila terjadi perubahan di
sisi permintaan. Untuk memenuhi pasokan dalam negeri, produksi domestik juga
belum mencukupi sehingga pemerintah membuka keran impor bawang merah.
Data juga menunjukkan terdapat
kecenderungan kenaikan impor bawang merah dari waktu ke waktu dengan
pertumbuhan rata-rata per tahun mencapai hampir 27%. Keran impor itu diharapkan
menjadi salah satu katup pengaman apabila terjadi kekurangan pasokan dalam negeri
yang bisa mengakibatkan gejolak harga. Namun, apakah demikian halnya dengan
fenomena yang terjadi akhir-akhir ini?
Interaksi antara sisi permintaan dan
penawaran akan menentukan titik keseimbangan yang pada gilirannya akan me
nentukan harga. Gejolak harga yang terjadi dianggap sebagian kalangan merupakan
fenomena biasa, terkait dengan produksi komoditas pertanian yang dipengaruhi
oleh faktor alam sehingga akan mengganggu pasokan. Argumen itu dengan mudah
akan terbantahkan apabila melihat fakta dan data terkait dengan harga bawang
merah selama 5 tahun terakhir.
Selama kurun waktu 5 tahun terakhir,
harga bawang merah di pasar menunjukkan tidak adanya satu pola yang berulang
dari tahun ke tahun.
Artinya bahwa tidak ada bukti yang
sahih bahwa kenaikan harga bawang saat ini merupakan siklus tahunan. Harga
bawang merah merangkak naik sejak Oktober 2012 pada tingkat Rp12 ribu per
kilogram hingga terakhir yang tercatat pada Februari 2013 sudah mencapai di
atas Rp25 ribu per kg.
Sementara itu, pada Oktober 2011
hingga Februari 2012 menunjukkan harga yang terus menurun dari Rp14 ribu ke
Rp12 ribu. Dengan demikian, fenomena yang terjadi pada awal 2013 merupakan
fenomena ganjil yang bisa ditelusuri lebih lanjut. Mengingat bahwa pada periode
ini tidak terjadi lonjakan permintaan yang luar biasa dan juga tidak terjadi
guncangan di sisi produksi.
Fakta dan fenomena yang menarik
untuk kemudian dicermati lebih lanjut dari komoditas bawang merah ini ialah
kenaikan harga seyogianya dinikmati seyogianya dinikmati petani. Benarkah
petani menikmati harga yang tinggi di pasar?
Analisis yang dilakukan penulis
memberikan indikasi terjadi perubahan yang cukup drastis terkait dengan siapa
yang menikmati keuntungan dari harga bawang merah yang tinggi. Sederhananya
kita dapat membandingkan antara harga yang terjadi di tingkat produsen dan
harga yang terjadi di tingkat grosir/ eceran. jadi di tingkat grosir/eceran.
Pada 2009, fluktuasi harga di
tingkat produsen memiliki pola yang sama dengan fluktuasi harga di tingkat
grosir/eceran dan tidak memiliki selisih yang tinggi. Artinya mekanisme
transmisi harga terjadi relatif sempurna antara harga di produsen dan konsumen.
Dengan demikian, petani menikmati keuntungan dari perubahan harga di tingkat
kon sumen.
Berbeda dengan situasi ketika 2011,
harga yang relatif stabil di tingkat produsen dengan kisaran Rp4.000Rp8.000
per kg ternyata tidak sebanding dengan harga yang terjadi di tingkat konsumen.
Fluktuasi harga di tingkat konsumen jauh lebih tinggi dengan kisaran Rp6.000Rp19.000
per kg.
Produsen, dalam hal ini petani,
benar-benar tidak menikmati gejolak tingginya harga. Menjadi pertanyaan
penting, siapa yang bermain?
Salah satu dugaan yang bisa kita
lihat bersama dari fenomena perbandingan dua periode waktu tersebut ialah tiga
tahun terakhir struktur pasar bawang merah telah berubah. Petani berhadapan
dengan para pembeli bawang merah yang mampu mengontrol harga.
Para pedagang itulah yang kemudian
juga mampu mengontrol harga di tingkat konsumen. Terlebih bahwa dengan margin
keuntungan yang relatif lumayan tinggi, para spekulan juga tergerak untuk
meramaikan pasar bawang merah.
Lagi-lagi petani sebagai produsen
sekaligus konsumen akan menjerit karena tidak ada keberpihakan untuk
menyejahterakan mereka. Impor bawang merah juga ternyata cukup memberikan ruang
tersendiri bagi para pemburu rente untuk ikut bermain. Harga impor bawang merah
yang selalu di bawah US$1 per kg, ternyata ketika sampai di pasar domestik
lebih tinggi dari US$1 per kg.
Berbeda dengan komoditas bawang
merah, komoditas bawang putih hampir 80% lebih tergantung pada impor. Harga
komoditas bawang putih juga setali tiga uang dengan bawang merah melambung
tinggi yang seolah-olah ialah siklus harga. Hal itu tidaklah benar apabila
lonjakan harga bawang putih sebagai akibat fenomena biasa siklus tahunan.
Impor bawang putih yang menunjukkan
kecenderungan semakin meningkat dari waktu ke waktu dengan rata-rata kenaikan
per tahun sekitar 20,2% dengan nilai yang semakin meningkat hingga mencapai
US$272 juta. Lagi-lagi pasar impor bawang putih yang menganga lebar mendorong
berbagai kecurigaan adanya permainan dan kartel yang gilirannya mampu
mengontrol harga. Terlebih Indonesia sangat-sangat tergantung pemenuhan
domestik dari pasokan impor.
Pelajaran dan Solusi
Kondisi itu mau tidak mau harus
segera diatasi. Tujuannya agar permasalahan-permasalahan tersebut tidak
berulang setiap tahun tanpa ada solusi yang jelas dan menyalahkan satu pihak
dengan pihak lainnya. Pemerintah harus secara tegas mampu berdiri untuk
kepentingan masyarakat luas dalam hal ini petani dan juga konsumen.
Petani harus sejahtera, sedangkan
konsumen tidak tergerus pendapatannya akibat inflasi yang disebabkan komponen
bahan pangan. Jalur distribusi yang acapkali ditengarai menjadi kambing hitam
juga harus segera diperbaiki sehingga hambatan pasokan tidak akan terjadi.
Pemerintah harus berani secara tegas
menindak para spekulan dan pedagang nakal yang berusaha untuk menikmati rente
yang tinggi karena fakta menunjukkan bahwa ada pihak-pihak yang ingin mengambil
manfaat.
Ketergantungan impor memberikan
pelajaran penting, bahwa harga dalam negeri akan sangat rentan apabila terjadi
guncangan di pasar internasional.
Oleh karena itu, sudah selayaknya
kita harus mampu meningkatkan produksi bawang merah dan bawang putih. Impor
diperlukan hanya sebatas menjaga pasokan dalam negeri.
Semoga hiruk pikuk bawang merah dan
bawang putih memberikan pelajaran berharga bagi kita semua, untuk kembali
melihat peran penting pembangunan pertanian dalam konstelasi pembangunan
ekonomi nasional.
Nunung Nuryartono
Ketua Program Pascasarjana Ilmu
Ekonomi dan Peneliti InterCAFE-IPB
MEDIA
INDONESIA, 16 Maret 2013
Posting Komentar