Bisakah kita percaya 100 %
terhadap konten berita yang disajikan media mainstream? Kemudian menelan
mentah-mentah isi berita tersebut. Menurut saya, percaya 100 % isi berita
adalah sesuatu yang berlebihan. Karena awak media juga seperti kumpulan manusia,
bukan malaikat yang jauh dari kesalahan dan nafsu.
Bagi seorang wartawan, untuk
menyusun sebuah laporan atau tulisan yang adil dan berimbang tidaklah sesulit
memelihara OBYEKTIVITAS. Yang dimaksud dengan sikap adil dan berimbang adalah
bahwa seorang wartawan harus melaporkan apa yang sesungguhnya terjadi. Unsur adil
dan berimbang dalam berita mungkin sama sulitnya untuk dicapai seperti juga
keakuratan dalam menyajikan fakta.
Keakuratan sesuatu fakta tidak
selalu menjamin keakuratan arti. Fakta-fakta
yang akurat yang dipilih atau disusun secara longgar atau tidak adil sama
menyesatkannya dengan kesalahan yang sama sekali palsu. Dengan menyisipkan
fakta-fakta yang tidak relevan atau dengan menghilangkan fakta-fakta yang
seharusnya ada di sana, pembaca mungkin mendapat kesan yang palsu.
Setidaknya ini yang saya rasakan,
ketika media – media mainstream memberitakan kejadian yang berkaitan dengan
Islam atau Ormas Islam terkesan tidak adil (menyudutkan, diskriminatif, dan tendensius)
dalam menyajikan isi berita. Terkesan ummat Islam yang selalu dirugikan.
Sebut saja, saat penangkapan
teroris, yang menjadi sumber berita hanya dari pihak kepolisian dan densus 88 atau
pengamat yang sudah sefikrah dengan aparat polisi. Sehingga dalam berita selalu
disebutkan para terduga teroris ditembak mati karena melawan/ membawa senjata.
Media begitu semangat untuk
memberitakan ‘wajah sangar’ FPI saat aksi sweeping. Sehingga dikesankan FPI
adalah organisasi anarkis. Tetapi apakah media mainstream mau memberitakan ‘wajah
ramah’ FPI, semisal aksi peduli banjir Jakarta kemarin (setahu saja ga ada,
yang memberitakan media OL Islam saja).
Atau media sangat membela aliran –
aliran sesat (Ahmadiyah, Syiah dll) saat ummat Islam marah atas penistaan agama
yang dilakukan mereka. Media hanya mengulas aliran sesat ini sebagai pihak yang
dizholimi oleh mayoritas Ummat Islam. Sepertinya media-media ini ingin
mengesankan bahwa ummat Islam Indonesia tidak toleran. Dan itu sudah berhasil
lewat LSM – LSM liberal.
Koran sekelas KOMPAS pun sangat
tidak obyektif saat memberikan keterangan foto headline aksi pendukung Mursy. Masa Kompas hanya menulis “RATUSAN”
pendukung Mursy (ciuuus ratusan?). walau saya belum pernah ke Mesir, tapi saya
yakin jumlah pendukung Mursy tidak seperti yang disebutkan Kompas.
Begitu juga yang terjadi beberapa
pekan ini, sejak ditangkapnya LHI oleh KPK tanggal 30 Januari 2012, trend
perbincangan tentang PKS melonjak tajam. Ini hampir mendekati angka survei yang
dilakukan oleh Win and Wise Communication yang menemukan bahwa percakapan
tentang PKS oleh warga di sosial media mencapai angka 1700 percakapan/menit.
WOW.
Seperti yang disampaikan Ustadz Ika di milis ini bahwa, ketika
berita penangkapan muncul isunya ikut ditangkap supir Mentan. Ternyata
dibantah. Kemudian, yang mau disuap adalah anggota Komisi IV DPR dari PKS.
Sekarang jadi LHI yg jelas2 bukan di Komisi IV tapi di Komisi I.
(hehehe...wartawan juga seperti PKS bukan kumpulan malaikat).
Hingga sampai media seperti Okezone pun ikut melakukan
berita fitnah bahwa Ustad Luthfi ditangkap oleh KPK bersama seorang wanita
muda? (tuing..tuing).
Adapun media massa barat juga tak
jauh berbeda, unsur adil dan berimbang masih sulit ditemukan saat menampilkan
wajah islam sebagai teroris.
Lalu bagaimana untuk
menyeimbangkan pemberitaan media mainstream yang terkadang tidak akurat 100
persen. Dan sering merugikan Ummat Islam?
Mengutip pernyataan Guru Besar
Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Atma Jayakarta, Alois A Nugroho yang dimuat
di Harian Kompas Kamis (7/2/2013), di halaman dua, mengungkapkan bahwa untuk
mengimbangi tirani informasi yang muncul menjelang dan selama pelaksanaan
pemilu 2014, masyarakat diminta menggunakan media sosial sebagai alat
penyebaran informasi pembanding.
Media sosial saat ini menjadi
penyeimbang bagi media massa yang mendominasi isu pemberitaan yang muncul di
mayarakat seperi TV, Koran, Majalah, Radio dan Tabloid. Media sosial mampu
menjadi penyeimbang isu negatif bagi kelompok atau topik perbincangan yang
santer di media konvensional. “Bisa dikatakan informasi di media sosial bisa
dipakai untuk mengimbangi pemberitaan media massa.” Kata Alois. Dia
menambahkan, komunikasi lewat media sosial juga bisa menghimpun gerakan civil
society dalam isu tertentu.
“Tapi harus diingat, gerakan
melalui media sosial hanya bisa efektif jika diikuti dengan gerakan offline.” Ungkapnya.
Kita masih ingat, saat Metro TV
memberitakan bahwa “Rohis Sarang Teroris” muncul gerakan di FB “1.000.000 Gerakan Tuntut Metro Tv Minta Maaf Kpd Rohis
Se-Indonesia”. Dari gerakan ini mampu memaksa Metro TV minta maaf
kepada Rohis.
Akhirnya, mari kita ramaikan
media sosial (FB, Twiter, Blog, Kompasiana dll). Dengan pesan-pesan aksi
positif PKS. Karena yang dilakukan LHI tidak mencerminkan wajah PKS. Tapi seperti
yang diungkapkan Ustadz Hidayat Nur Wahid itu adalah urusan pribadi LHI.
“Berapa banyak kader PKS yang
menghafal al-Qur'an? Mengingatkan shalat Subuh di Masjid? Mendidik untuk baca
al-Qur'an setiap hari? Mau lihat PKS ya lihat perilaku kadernya. Itulah PKS
yang sebenarnya," jelas Ustadz Abdurrohim (anak Ustadz ABB) di
hidayatullah.com.
Mari kita sebarkan kebaikan dari
sisi positif PKS. [cipks].
Posting Komentar