Janggutnya sudah mulai
meninggalkan dunia hitam. Suara baritonnya menambah wibawa. Di Pesantren, ia
dikenal tangkas menjawab pertanyaan wartawan. “Jadi apa arti nasionalisme
menurut Bapak?” Tanyanya suatu ketika kepada utusan Pemerintah. Utusan itu
sebelumnya mengutarakan bahwa team mereka mendapat tugas untuk menyelenggarakan
‘Training Kebangsaan’. “Apa Bapak meragukan ‘nasionalisme’ kami…nasionalisme
santri-santri kami…?” protes Kyai yang mulai sepuh itu. “Jika Bapak
meragukan pembelaan kami terhadap negeri ini, silahkan diuji… ‘Bawa masuk’
tentara Amerika ke Indonesia, kami jamin santri kami akan berada di shaf
depan untuk menghadapi mereka. Dan saya jamin, birokrat-birokrat yang sok
nasionalis itu akan lari terbirit-birit meski setiap Senin hormat bendera.”
Lanjutnya berargumen.
Setelah berdiskusi
panjang, utusan itu akhirnya ‘setengah menyerah’. Di satu sisi, betapapun ia
adalah delegasi yang harus pulang membawa hasil. Gagal dalam sebuah missi, bisa
mengancam karir dan ‘periuk’ mereka. Disisi lain, ia juga tak bisa banyak
menjawab argumentasi sang Kyai. Akhir kata, disepakatilah sebuah kompromi.
Kuliah kebangsaan tetap diadakan; diselipkan dalam sebuah sambutan acara
seremonial Pesantren yang kolosal. Bukan dalam bentuk training melainkan pidato
dengan durasi sekitar satu jam. Dan untuk mewujudkannya, sang utusan memberikan
dana atas nama ‘training kebangsaan’ itu ☺ (hehe.., mau juga
duitnya). Karena yang memberi kuliah adalah seorang menteri, kawan saya harus
meminjam mobil camry ke Pemerintah Kabupaten waktu itu. (wah, harusnya
sekali-kali diajak jalan kaki ya..☺)
Tapi itu cerita dua tahun
lalu. Dan kini, upaya mereduksi ‘arti cinta tanah air’ kembali mencuat. Seorang
Bupati yang konon dulu adalah seorang guru; dan konon sekolah tempat ia
mengajar kini sedang tak mendapatkan murid, tiba-tiba menebar ancaman hendak
menutup sebuah SDIT yang mulai maju; sebuah sikap yang jauh dari pribadi mantan
seorang guru. Seorang walikota yang terkenal santun dan berpihak kepada wong
cilik, juga tiba-tiba mengumbar ancaman akan menutup sebuah SDIT. Semua
atas sebab tak menjalankan upacara bendera. Beberapa pesantren di luar jawa,
juga mulai mendapat tekanan serupa meski tak diwartakan di surat kabar. ‘Hormat
bendera’ kini menjadi indikator penting loyalitas seseorang kepada bangsanya.
Kita kembali dibawa ke alam Orba.
Menarik, sebab ‘tebar
ancaman’ ternyata hanya tertuju pada beberapa sekolah tertentu. Betapa banyak
institusi pendidikan di negeri ini yang tak menggelar upacara bendera dan tak
pernah disoal? Hal ini mengingatkan kita Januari lalu dimana sebuah lembaga
bernama ‘Setara Institute’ mengklaim telah melakukan riset atas TKIT dan SDIT.
Simpulannya, TKIT dan SDIT telah mengajarkan benih radikalisme Islam karena
sering melombakan nasyid jihad Palestina. “Lagu-lagu jihad itu mengancam NKRI
dan bertentangan dengan Pancasila. Kenapa tidak pakai lagu-lagu perjuangan
Indonesia?” kata Ismail Hasani, sang peneliti yang tak jelas jasanya kepada
bangsa ini. “Jadi kita harus waspada..!” katanya penuh curiga. Statement yang
muncul dalam paket acara “Deradikalisasi” di hotel Atlet itu, tak memerlukan
penjelasan panjang tentang siapa dan mau kemana arah diskusi itu.
Padahal banyak pelajaran
penting soal Ujian Pertahanan di negeri ini. Saat organisasi separatis RMS
beraksi di Maluku, oknum yang adalah orang penting di Badan Intelejen sowan
kepada sesepuh jihadis. Ini tentu bukan cerita koran, tapi cerita behind the
scene yang bersumber dari pelaku. Sang Intel meminta bantuan agar aktifis
jihadis membantu Negara untuk menghadapi kelompok separatis itu. “Segala
sesuatunya akan kita siapkan Pak…” bujuk sang intel. Sesepuh itu menjawab,
“Maaf, kami tidak biasa beramal atas dasar order. Kami hanya beramal lillahi
ta’ala.” Para aktifis jihadis ternyata sudah ada di lapangan karena Allah
semata. Oknum Intelejen yang dulu sering nongol di media itu menanggapi, “Baik,
jika Bapak tidak bersedia kami akan meminta aktifis yang lain.”
Jadi bahwa mental
pembelaan Negara itu dimiliki ‘kelompok santri’ bukanlah rahasia. Birokrat
sangat mengerti akan hal itu. Sejarah menunjukkan negeri ini dibangun oleh
tetesan darah santri. Sebuah komunitas perwira nan ikhlas. Kelompok yang tak
berharap pamrih kecuali ridha ilahi. Sebuah komunitas yang menggariskan
hidupnya dalam dua kalimat: ‘Hidup mulia atau Mati Syahid’. Sayang banyak orang
memanfaatkan ‘keikhlasan’ santri selama ini. Bukankah doktrin jihad
terbukti paling unggul melawan Belanda? Dalam khazanah kita, ada Pangeran
Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Pengeran Antasari, dan lain-lain. Term ‘Jihad’
sebagai spirit perlawan mereka terekam apik dalam buku-buku ‘babad sejarah’
negeri ini. Saat kemudian Belanda hengkang, para pejuang sejati kembali ke
surau-surau. Sebaliknya, para tentara yang masa itu adalah output
didikan Belanda dan Jepang justru tampil memimpin negeri bak pahlawan kesiangan.
Santri, ternyata hanyalah sebuah komoditas.
Saat aktifis jihadis
berjibaku menghadapi RMS, Petugas Keamanan bersembunyi di kolong-kolong seperti
burung pipit sambil berkata, “Mas, tembak-menembaknya sebelah sana saja biar
tidak kena saya”. Ini cerita mujahidin kepada saya. Saat aktifis jihadis gugur
tertembus peluru RMS, Para Birokrat kita asik berselingkuh dengan bangsa-bangsa
penindas. Mereka sibuk menjual aset-aset Negara yang oleh Stiglitz (mantan
Ketua Tim Ekonomi Bank Dunia) dijelaskan sebagai ‘penjajahan sistemik.’
Stiglitz akhirnya ‘tidak tahan’ dan menulis testimoninya dalam “Globalization
And Its Discontents”. Ia ternyata masih punya nurani. Bukankah bangsa ini sudah
mulai melupakan perampokan atas nama ‘privatisasi’? Apa kabar Semen Gresik
gate, Krakatau Steel gate, Telkom gate, dan Indosat gate? Hampir bisa
dipastikan (sebagaimana dituturkan Stiglitz) bahwa dalam setiap ‘privatisasi’
ada 10 % masuk ke kantong decision maker? Dan yang pasti, para mekelar
hitam itu adalah cumlaude dalam melafalkan Pancasila dan khusyu’ dalam
upacara bendera.
Penjajahan memang hanya
berganti model. Kita semua sepakat bahwa sesungguhnya kita belum pernah
merdeka. Bukankah pembukaan UUD Negara ini mencantumkah bahwa Indonesia baru
sampai ‘di pintu gerbang kemerdekaan’? Yang harus kita ingat, bahwa penjajah
tidak akan langgeng tanpa dukungan begundal lokal. Belanda bisa bertahan
menjajah selama 350 tahun, karena ulah demang dan bupati. Mereka para-para
begundal yang hanya memikirkan perut dan kelompoknya. Agaknya, kita belum
beranjak jauh dari situasi itu. Tambang minyak dan emas kini berganti pemilik
dengan ‘bangsa kulit putih’ sebagai tuan. Aset potensial dijual murah ke
bangsa-bangsa asing. Kita tak memiliki kemandirian politik dan ekonomi. Kita
menjadi buruh di negeri sendiri. Dan siapa lagi para bandit itu kalau bukan
yang rajin berupacara bendera?; memparadekan ke-khusu’an nasionalisme tapi
hatinya penuh dengan kemunafikan?
Ironis. Kini, saat
Birokrasi gagal mendapat kepercayaan masyarakat di sekolah dasar; yang membuat
sekolah-sekolah negeri tak mendapatkan siswa, komunitas santri kembali
terpanggil membangun bangsanya. Sebagian sekolah yang semula hampir ambruk
disulap menjadi sekolah-sekolah unggulan dan favorit. Umumnya kemudian menjadi
TKIT atau SDIT dengan pola fullday school. Lokal yang dikelola, bahkan
kini tak sanggup menampung luapan siswa. Karena keikhlasannya, banyak dari
mereka yang digaji di bawah UMR. Sungguh, sebuah penghayatan kebangsaan yang
dalam istilah sufi bukan lagi berlevel syariat tapi sudah hakekat.
Pada saat yang sama, para birokrat itu punya keasyikan memainkan anggaran
sambil berfikir ‘adakah tipe mobil baru yang belum aku beli?’. Dan kini, para
‘pahlawan tanpa tanda jahasa’ sedang disoal kecintaannya kepada bangsanya
karena muridnya tak hafal Pancasila?
Ya, tapi para guru itu
memang ‘berdosa’ karena mengajarkan nasyid Palestina. Tapi agaknya, itulah cara
mereka menjauhkan anak didik dari mental para maling. Dan itulah ‘ilmu
hekekat’. Nazarudin ternyata lebih berharga bagi negeri ini.
oleh Bambang
Sukirno
Eramuslim.com
Posting Komentar