Diberdayakan oleh Blogger.
 
Jumat, 25 Juni 2010

Bachtiar Effendy:Tinggalkan Hutang, Kita Harus Menjadi Bangsa Yang Mandiri

0 komentar
Bangsa Indonesia telah lama merdeka. Namun bangsa ini belum beranjak menjadi bangsa yang mandiri dan punya harga diri di hadapan Internasional. Hutang masih terus melilit bangsa ini, hingga anak cucu kita pun harus ikut menanggungnya. Padahal potensi sumber daya alamnya melimpah. Belum lagi permasalahan yang harus dihadapi bangsa ini seperti kemiskinan dan pembangunan yang belum merata, sehingga banyak akibat yang ditimbulkannya. Sementara itu, pelayanan publik yang belum maksimal dan birokrasi yang berlapis, serta alokasi APBN yang belum sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, menjadikan bangsa ini terus dililit berbagai masalah. Bagaikan mengurai benang yang kusut, harus dimulai dari mana?

Bangsa ini membutuhkan orang-orang yang mampu untuk membangkitkan semangat agar kembali menjadi bangsa yang punya muruah, harga diri, dan mandiri. Seperti yang dikatakan Presiden Soekarno, bahwa bangsa kita bisa berdiri diatas kaki sendiri,” kata Prof Dr Bachtiar Effendy, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada Cipto, Wartawan Majalah Rumah Lentera, pengamat politik ini menyampaikan pandangannya tentang bagaiman seharusnya bangsa ini bangkit dan mandiri. Berikut petikannya.

Hingga kini status bangsa Indonesia masih Negara berkembang. Sebenarnya apa yang menghambat kemajuan bangsa Indonesia?
Yang menghambat karena kita tidak lagi punya muruah (harga diri) dan kemandirian. Jadi karakter kita sebagai bangsa yang dulu oleh Soekarno dibilang mampu berdiri diatas kaki sendiri sudah tidak ada lagi, atau kalau masih ada masih sangat kecil. Jadi muruah, harga diri dan rasa kemandirian itu hampir punah. Kita sekarang ini sangat bergantung dengan pihak-pihak asing.

Entah apa menyebabkan apa karena kita merasa miskin, kita merasa harus berhutang, dan berhutang kita makin lama makin banyak. Pembangunan kita dibiayai oleh hutang. Hutang kita saat ini mencapai 1700 triliun rupiah, setiap bulan kita harus bayar bunga, dan bunganya diambil dari APBN yang jumlahnya sekitar 1100 trilyun rupiah. Masa kita punya hutang, dan sebagian uangnya untuk bayar bunga hutang. Lah ini kan tidak masuk akal. Kita tidak bisa lagi mencari pemasukan kecuali dari dana pajak, dan kalau pajak semakin dinaikan maka beban masyarakat juga semakin tinggi.

Dengan kondisi ini, apa yang harus dilakukan?
Lah mestinya kita harus berubah, kita harus mulai lagi mengkampanyekan semangat berdikari dari segi ekonomi. Kita ini bukan bangsa miskin, kita ini bangsa kaya. Tapi bertingkah laku seolah-olah kita ini orang miskin. Kita membiarkan sumber daya alam yang melimbah itu tidak dikelola secara professional. Bahkan ada yang dikontrakkan ke pihak asing dan sebagian besar dinikmati oleh asing. Seperti kontrak-kontrak karya itu, apakah itu di freepot dan sebagainya.

Jadi menurut saya, kita harus kembali seperti apa yang pernah dikatakan oleh Soekarno, bangsa yang bermartabat, bangsa yang merdeka, bangsa yang mampu berdiri diatas kaki sendiri. Sebab noekolonialisme itu tetap saja terjadi. Kalau dulu penjajahannya secara fisik, sekarang modelnya di jajah secara ekonomi, sehingga perekonomian kita tidak mandiri.

Kita harus kembali ke muruah kita, kita punya potensi, letak geografis kita luas dari Sabang sampai Merauke. Sumber daya alam kita banyak. Koes Ploes dulu kalau menyanyikan sangat indah menggambarkan kondisi bangsa Indonesia, kita bagaikan kolam susu, tongkat dan batu jadi tanaman. Itu hanya menunjukkan betapa bangsa kita kaya, subur dan makmur.

Harus dimulai dari mana untuk merubah kondisi ini?
Nah untuk langkah pertama kita harus kurangi, spending atau pengeluaran. Karena sebagian besar pengeluaran APBN kita untuk birokrasi dan untuk memekarkan daerah. Bukan untuk menyantuni program-program rakyat. Termasuk juga dana aspirasi yang diajukan DPR untuk disalurkan ke daerah pemilihannya.

Jadi mestinya kita bisa ramping. Kita tidak perlu Kementrian itu jumlahnya 36, kita tidak perlu banyak-banyak menteri. Menteri itu bisa dikurangi separuhnya. Sehingga pekerjaan mereka menjadi banyak dan bekerja. Tidak istirahat, tidak ngurusin yang sebenarnya bukan urusannya. Kalau 36 menteri biayanya berapa, pekerjaannya apa?

Padahal kan satu bidang dengan bidang yang lain bisa digabung. Lah ini tidak dilakukan, akibatnya biaya APBN membengkak. Seharusnya kita mengencangkan ikat pinggang. Kalau mampunya beli Kijang, ya apa salahnya menteri-menteri itu pakai Kijang. Masa pakai Toyota Royal tapi dibeli dari uang hutang. Padahal banyak para menteri sebelum jadi menteri mobilnya tidak seperti itu. Kalau itu uang pribadi nggak masalah. Lah ini pakai uang Negara!.

Mestinya belanja Negara harus kita kurangi, mana yang prioritas untuk kepentingan rakyat dan yang bisa menghasilkan uang. Dan yang kedua hutang harus dikurangi, semakin banyak kita berhutang, maka kita semakin bergantung pada kekuatan asing sehingga kita tidak mandiri, tidak punya muruah dan selamanya kita merasa menjadi negera miskin.

Berarti permasalahannya adalah mental?
Ya, permasalahannya adalah mental. Jadi sekarang ini tidak ada orang yang mampu membangkitkan semangat kita, tidak ada orang seperti Soekarno dulu. Kita butuh figure, kepemimpinan, orang yang dihargai dan dihormati serta karisma. Tidak mesti dia menjadi presiden, tetapi bisa membangkitkan semangat orang tentang pentingnya mandiri secara ekonomi.

Apa bisa dari masyarakat sipil?
Ya bisa saja, pimpinan dari NU atau Muhammadiyah, dan orang-orang kampus. Tetapi yang dicari adalah orang-orang yang bisa membangkitkan semangat kemandirian.

Tetapi akhirnya kebijakan ada di eksekutif dan legislative?
Memang kebijakan ada di eksekutif dan legislative. Disini kita perlu mengajak masyarakat untuk memilih anggota DPR dan presiden yang baik, yang punya rasa kemandirian. Mereka-mereka yang tidak merasa miskin, tapi merasa kaya. Seperti Mario Teguh itu, di televisi kan selalu membangkitkan semangat, yang kita butuhkan adalah orang yang bisa membangkitkan semangat seperti Mario Teguh. Kalau kita makan di warung Padang sudah merasa enak ya sudah kita makan disitu.

Ini masalahnya sekarang banyak orang yang merasa miskin, jadi kalau kurang ya berhutang. Dulu kita diajari peribahasa “Besar pasak dari pada tiang”. kalau besar pasak dari pada tiang itu tidak mungkin akan klop. Itu akan merusak bangunan, dan ambruk.

Dan agama juga mengajarkan tangan diatas lebih baik dari pada tangan dibawah. Itu artinya lebih baik kita memberi dari pada meminta. Zaman dulu mengajarkan, agar jangan mengikuti orang-orang Belanda, karena kalau kita mengikuti, menyerupai orang Belanda itu, maka kita menjadi bagian mereka. Kita harus punya harga diri, jati diri. Agama mengajarkan, mengikuti saja tidak boleh, meyerupai saja tidak boleh, apalagi bergantung. Sekarang semua orang bergantung. Makanan ayam saja kita tidak bisa ciptakan sendiri.

Sepertinya kecenderungan para pejabat kita bermental miskin?
Filosofi kekayaan dan kemiskinan harus dirubah, bukan yang kaya arena penampilannya, semangat untuk tidak hutang itu artinya kita kaya. Itu artinya kita merasa qona’ah, merasa puas dan cukup dengan apa yang kita miliki. Karena itu yang kita perlukan, jadi bedakan antara keinginan dan keperluan. Kalau keinginan itu nggak ada habisnya. Misal kita ingin punya pesawat presiden dll. Jadi yang sebenaranya, apa yang kita perlukan.

Jadi ini memerlukan contoh dari para pimpinan kita. Kalau para pemimpin kita memberikan contoh yang sebaliknya, yang bermewah-mewah. Kalau bermewah-mewah dari uang sendiri nggak apa-apa. Saya bukan anti orang kaya, yang dibagus-bagusin itu adalah fasilitas yang disediakan oleh Negara, dan parahnya itu hasil dari hutang. Ini kan repot. Kalau kita beli mobil dari hasil uang sendiri nggak masalah. Tapi kita membeli mobil dari uang Negara, bagi saya itu adalah persoalan, apalagi uang Negara tidak cukup. Kemarin kita dengar mobil Royal itu bukan mobil mewah, atuh bagaimana kalau pejabat Negara mengatakan itu bukan mewah. Bukan mobil mewah itu Kijang. Ini yang harus diorientasi.

Yang kedua, kita sesuaikan lah, kita belajar angka. Kalau kita mempunyai pendapatan 200 ribu rupiah, maka yang kita keluarkan dibawah itu. Tidak boleh lebih, kalau lebih artinya kita hutang. Artinya kita tidak bisa bayar, hutang bertumpuk, kita bergantung pada orang yang dihutangi dan mudah di dikte. Dengan Singapura saja kita di dikte. Kemarin itu, soal perjanjian kerjasama dibidang pertahanan, walaupun akhirnya batal.

Diatas itu semua kita harus sungguh-sungguh. Kalau kita diberi amanah ya kita sungguh-sungguh menegakkan amanat itu. Kalau kita jadi pejabat publik ya sungguh-sungguhlah. Tidak mengambil yang bukan haknya. Saya tidak tahu harus mulai dari mana.

Ya sudah tidak usah didiskusikan dari mana, kerjakan saja semuanya. Setiap tahun kan menghitung APBN, memutuskan Anggaran Belanja Negara. Dimulai saja dari prinsip itu, kita mampunya berapa, itu yang kita spend. Jadi ada anggaran berimbang, tapi anggaran berimbang itu paling celaka, karena punya 10 dikeluarkan 10. Kalau yang bagus, kita punya 10, kita keluarkan tujuh.

Bagaimana pada saat pemerintah menggalakkan masyarakat untuk menabung, Ayo menabung. Kok malah pemerintah tidak bisa melakukan tabungan. Harus ada contoh yang baik dari pemerintah.

Ini masalahnya rumit, pelik dan tidak ada orang yang mau memulai. Tidak ada lagi orang yang mengkampanyekan perlunya sikap berdikari, sikap harga diri, muruah, jangan jadi bangsa penghutang atau peminta-minta.

Akibatnya perilaku ini ditiru masyarakat?
Ya, kebiasaan pemerintah menghutang jadi ditiru masyarakat. Lihat saja sekarang (mungkin saya salah), sebagian besar saya kira yang menggunakan sepeda motor untuk transportasi sehari-hari itu kan kredit. Hutang toh? Masyarakat berfikir, wah ini karena angkot sekarang mahal dan lamban, karena jalan-jalannya tidak cukup, aah saya pakai sepeda motor saja. Sekarang dengan modal 500 ribu rupiah sudah dapat, maka setiap bulan tinggal bayar 300 ribu atau 500 ribu. Sudah cukup itu transport malah lebih murah kalau kita naik angkot atau busway.

Kan ini menurun, dari pemerintah karena hobi hutang. Mending kalau hutang, uangnya digunakan untuk membiayai pembangunan, infrastruktur, pelayanan publik, dsb. Tetapi sebagian besar untuk membiayai pegawai dan birokrasi. Karena birokrasi biayanya makin hari makin membengkak.

Dulu kita hanya punya beberapa ratus kabupaten dan walikota, sekarang sudah diatas 400 atau mungkin mendekati angka 500. Padahal kita dalam suasana krisis. Lihat saja dalam 10 tahun terakhir ini pembengkakan anggaran luar biasa. Otonomi ini apakah karena kebutuhan atau hanya mengakomodir keinginan tokoh-tokoh lokal yang kepingin dan merasa bisa menjadi bupati atau walikota?

Kita kadang-kadang pengin meniru Amerika. Wah ini demokrasi kita harus seperti disana. Tapi Amerika itu Negara yang lebih besar dari kita, berapa menterinya? Sedikit sekali. Dulu jamannya pak Harto sebenarnya sudah dipraktekan (model seperti itu). Jumlah menterinya sedikit, digabung-gabung. Misalnya dulu ada Kementrian Mentransnakop (menteri tenaga kerja, tarnsmigrasi dan koperasi). Di Amerika itu kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan sosial dijadikan satu.

Sekarang kita mempunyai Kementrian Daerah Tertinggal, apa perlu Kementrian Daerah Tertinggal? Sementara di Kementrian Daerah Tertinggal ini tidak punya kewenangan untuk misalnya bikin jembatan, yang bikin jembatan itu harus Dinas PU. Apa perlu kita Kementrian Pemuda dan Olahraga? Sementara pemuda kita tidak ada yang membanggakan dan olahraga kita kalah terus. Masak pemain sepak bola Indonesia lebih banyak pemain asingnya. Kalau misalnya Kementrian Pemuda dan Olahraga digabung dengan Kemetrian Pendidikan kan bisa.

Karena kita selalu berfikir mengakomodasi kawan-kawan kita untuk menduduki posisi-posisi politik. Kenapa kesehatan berdiri sendiri, padahal bisa digabung dengan Kesejahteraan Sosial, untuk melayani orang-orang miskin. Kan satu koordinasi lebih cepat dan birokrasinya tidak membengkak. Bisa efisiensi, gedung tidak perlu banyak. Yang lain lagi, perdagangan, industry dan tenaga kerja apa harus dipisah-pisah? Malah sudah ada Kementrian Tenaga Kerja, tapi ada lembaga lain yang mengurusi tentang tenaga kerja.

Jadi kecenderungannya itu menciptakan lembaga-lembaga Negara baru, seperti KPK, mestinya kalau aparat penegak hukum bekerja, pasti tidak akan menciptakan lembaga hukum yang lain. Misalnya Kejaksaan dan Kepolisian ya tingkatkan kinerjanya. Kenapa harus ada KPK, Komisi Yudisial, sudah ada Mahkamah Agung, masih ada lagi Mahkamah Konstitusi. Ya memang ditempat (Negara) lain seperti itu, tapi manusia ini terlalu banyak. Sehingga lembaga yang mengawasi penegakan hukum itu ada KPK , Kejaksaan, ada Polisi. Ini terlalu banyak dan pemborosan. Ya mungkin sekarang masih diperlukan, harus ada pemikiran bahwa efisiensi. Karena kita tidak punya uang untuk membiayai itu.

Ini persoalan, karena kesejahteraan rakyat jadi terbengkalai, karena banyak biaya digunakan untuk membiayai lembaga-lembaga seperti itu.

Saat ini masalah kemiskinan masih menjadi permasalahan nasional? Apa bisa diatasi?
Bayangkan saja 35 juta orang miskin. Mestinya bisa diatasi, walau tidak mudah. Hampir 10 juta rakyat menganggur dan itu termasuk sarjana. Ngapain kamu bikin sekolah, setelah lulus tapi gak punya pekerjaan?. Ini kan masalah yang belum terselesaikan, karena terlalu sedikit orang berfikir membangun secara konfeherensif dan lebih banyak orang yang berfikiran terlalu politis. Partai-partai dibiarkan banyak, sehingga siapapun yang memerintah harus mengakomodir kekuatan partai-partai politik. Makanya departemen-departemen menjadi membengkak. Jadi ini perlu perhatian bersama-perlu kerja keras untuk membangkitkan muruah kita. Sehingga masalah-masalah sosial kemasyarakatan hari demi hari bisa diselesaikan.

Menurut pandangan Bapak, apa kebijakan publik sudah memihak ke masyarakat?
Ya kalau kamu tanya kepada pemerintah, mereka akan bilang iya. Kamu bilang ke anggota DPR, maka akan di jawab belum. Makanya harus ada aspirasi sebesar 15 miliar rupiah. Tapi kita lihat saja angka-angka di APBN itu, apakah sebagian besar untuk masyarakat, apakah untuk gaji pegawai.

Struktur penggajian juga masih timpang, seorang anggota DPR digaji rata-rata 50 juta per bulan, sementara gaji professor 13 juta, padahal sudah bekerja puluhan tahun berusaha untuk mendidik generasi yang tidaj juga pintar. Kan cape itu. Sementara yang bekerja menjadi anggota DPR nggak ada suaranya, justru kalau bicara yang aneh-aneh malah di recall. Tapi biayanya besar sekali.

Kalau di pusat besar, maka yang di daerah juga meniru. Makanya dalam APBN dilihat satu-persatu, apa yang harus menjadi prioritas. Dan dilandasi semangat dan harga diri, semangat untuk tidak berhutang. Kalau biaya belanja tidak cukup untuk membiayai pegawai, ya jangan tiap tahun menerima pegawai. Yang nggak jelas pekerjaannya.

Nah itu contoh rencana pembangunan yang tidak terencana. Lihat saja ada tiang-tiang untuk pembangunan monorel yang menghabiskan dana sekitar 600 miliar dan nggak jadi. Lah gimana sudah punya ide dan dibangun, tiba-tiba mati ditengah jalan. Siapun yang mempunyai rencana itu adalah pihak yang tidak bertanggung jawab, tidak berfikir matang-matang. Bukan sekedar meniru, bahwa di Bogota itu bagus. Tapi Bogota dengan Jakarta itu beda. Macet nggak Jalan-jalan di Bogota?, berapa penduduknya di Negara itu. Kalau mau bangun ya banguns sekaligus. Seperti Singapura, membuat kereta bawah tanah yang massif dan nyaman. Sekarang (di Indonesia) nggak ada kerata api yang aman dan nyaman, jorok, kadang-kadang masyarakatnya nggak mau bayar.

Sebenernya ini bisa, karena orang-orang Indonesia yang bermukim di luar negeri bisa tertib, karena kalau di luar negeri bisa antri, buang sampah tidak sembarangan, merokok tidak sembarangan tempat, tapi dalam negeri tidak. Kan ini aneh. Kalau pulang ke Indonesia menjadi sembarangan lagi? Kan ada yang salah dengan masyarakat kita, ada budaya dan sikap mental.

Era reformasi banyak memunculkan gerakan sosial yang lahir dari masyarakat sipil dan berfokus pada pemberdayaan masyarakat. Kalau bapak sendiri menangkapnya sebagai apa?
Ya ini sudah lama konsep memberdayakan masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan. Saya kira ada perkembangannya, tapi kadang-kadang perkembangannya tidak cukup cepat, dibanding dengan tantangan-tantangan yang dihadapi. Sebetulnya ada kemajuan dibidang itu, dengan semangat keterbukaan sekarang ini masyarakat semakin berani, semakin menyadari. Juga perkembangan teknologi, dan komunikasi juga lancar. Tapi kalau kita lihat kehidupan masyarakatnya sederhana, keinginannya tidak aneh-aneh, asal mereka bisa hidup aman, nyaman, dan tentram serta keamanan, itu cukup.

Coba saja datang ke desa-desa, kondisinya nggak ada perubahan itu, infrastrukturnya tetap saja. Kalau saya pulang kampung di Ambarawa sana, nggak ada yang berubah, malah disana makin macet saja. Karena menjadi korban pembangunan, korban orang-orang kaya yang membeli mobil banyak, sehingga macetnya luar biasa. Jalan didepan rumah saya sudah dibuat sejak jaman Belanda, sampai sekarang masih seperti itu. Jadi memang ada perubahan namun masih terkonsentrasi di masyarakat-masyarakat kota besar (Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung dll). Jadi mestinya kalau ada Kementrian Daerah Tertinggal ya mestinya harus serius itu, harus dilihat berapa anggarannya, sama atau tidak. Kalau anggarannya lebih banyak di kota-kota besar, artinya buat apa ada Kementrian Daerah Tertinggal. Karena nggak ada pembangunan, akhirnya masyarakat berbondong-bondong ke kota. Dan terjadilah kemacetan.

Dulu kan konsepnya dengan otonomi daerah, maka daerah menjadi maju, sehingga orang tidak perlu ke Jakarta. Bupati saja sekarang nongkrongnya di Jakarta, karena dia tahu peredaran uang ada di Jakarta. Nah ini artinya, walau sudah ada perubahan, tapi perubahannya tidak cukup besar untuk mengubah struktur yang pincang.

Tahun 2010 ini, Rumah Zakat mengkampanyekan gerakan merangkai senyum Indonesia yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat miskin. Bagimana menurut Bapak?
Bagus, silahkan saja bikin berbagai program. Sepanjang tidak menciptakan ketergantungan, rasa menjadi miskin, dan kehilangan rasa harga diri serta membuat orang menjadi tidak mempunyai kemandirian. Sedekah itu bagus, tapi kita masih banyak melihat orang-orang miskin kalau kita habis Jumatan. Apalagi dalam moment jelang lebaran saat pembagian beras, ada korban dan yang terinjak-injak, hanya untuk sekilo-dua kilo beras, satu dua biji sarung, dan uang yang tak seberapa. BLT (bantuan langsung tunai) itu kan menciptakan ketergantungan, menghilangkan harga diri, tidak mendidik rakyat untuk mandiri, punya harga diri untuk tidak meminta-minta.

Saya sedih, karena sebagian besar orang Islam. Orang Islam itu harus menjadi kaya (kaya dalam artian bukan memiliki harta yang melimpah), karena dia harus naik haji, bayar zakat, dan sedekah, dia harus pakaiannya bersih dan suci ketika sholat. Itu semua butuh biaya. Jadi intinya ummat Islam harus kaya, mandiri dan tidak boleh meminta-minta.

Sedekah itu bagus, tapi yang lebih penting, bagaimana agar dapat mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, tidak dengan cara membagi-bagi uang menjelang lebaran. Saya bukan ahli ekonomi, silahkanlah berbuat yang serius, sepanjang tidak menciptakan ketergantungan, membuat orang mempunyai budaya meminta-minta terus.***

Entri Populer

 
News & Artikel Abu Hylmi © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

You can add link or short description here