Menurut Kamus Bahasa Indonesia
perdagangan artinya pekerjaan yang
berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan.
Dalam pandangan Islam, perdagangan merupakan aspek kehidupan yang
dikelompokkan dalam masalah muamalah, yakni hubungan yang bersifat horizontal
dalam kehidupan manusia. Namun, sektor ini mendapat perhatian khusus dalam
ekonomi Islam, karena berkaitan langsung dengan sektor riil.
Kalau kita menengok Al-quran maka
akan ditemukan keterangan yang sangat jelas tentang etika dalam perdagangan. Di
dalam Al-quran disebutkan bahwa perdagangan atau perniagaan merupakan jalan
yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk menghindarkan manusia dari jalan yang
bathil.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu,” (QS. An-Nisa’ : 29).
Saat melakukan transaksi
perdagangan, Allah SWT juga memerintahkan agar manusia melakukan dengan juju
dan adil. Tentang tata tertib ini dijelaskan Allah dalam surat Hud ayat 84-85:
Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus)
saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran
dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu)
dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan
(kiamat)."
Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku,
cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan
manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka
bumi dengan membuat kerusakan.
Islam juga melarang pedagang atau pebisnis untuk menimbun barang dengan
tujuan memainkan harga dan menimbulkan ketidakstabilan ekonomi. Selain itu,
Islam juga sangat melarang jual beli dengan cara najasy (menambah harga untuk menipu pembeli) dan praktik
bisnis kartel. Karena model
dagang seperti ini sangat merugikan hak-hak masyarakat (konsumen).
Sehingga Rasulullah SAW sangat mengecam pebisnis yang suka memonopoli
dengan menimbun barang dan praktik najasy, “Orang
yang mencari nafkah itu diberi rizki dan orang yang menimbun itu dilaknat,”
(HR. Ibnu Majah).
Dari sisi duniawi, para pedagang atau pebisnis yang menerapkan sistem
bisnis kartel atau najasy mungkin akan cepat mengeruk keuntungan yang
menggunung. Namun para pedagang model ini kelak di hari kiamat akan
dibangkitkan sebagai orang yang suka berbuat keji.
“Sesungguhnya para pedagang
(pebisnis) itu akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak sebagai orang yang suka
berbuat keji, kecuali orang yang bertaqwa kepada Allah, berbuat baik dan
jujur,” (HR
at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban, al-Baihaqi dan al-Hakim).
Dalam sejarah, praktik bisnis kartel pun pernah terjadi, kala itu
orang-orang musyrik Makkah meminta kepada Rasulullah SAW agar Allah SWT
mewahyukan harga-harga barang dagangan sehingga mereka bisa membeli di waktu
murah dan akan menjualnya di waktu mahal dengan harapan keuntungan berlipat
ganda.
Rasulullah SAW menjawab dengan firman Allah SWT, “Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik
kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang
dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku
membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan.
Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf : 188).
Para mufasir menyebutkan bahwa
sebab turunnya ayat ini adalah bahwa orang-orang musyrik berkata: “Mengapa Tuhannya Muhammad tidak
mewahyukannya harga-harga barang dagangan sehingga kami membelinya di waktu
murah dan akan menjualnya di waktu mahal sehingga harta benda kami akan
berlipat ganda”.
Seandainya, para pedagang mau memperhatikan etika dalam perdagangan ini,
niscaya tidak akan terjadi kegaduhan di sektor komoditas pangan yang meresahkan
ibu – ibu rumah tangga, mereka tidak akan galau memikirkan harga – harga cabai,
bawang merah, dan bawang putih yang harganya hanya ditentukan oleh segelintir
orang. Wallahu a’lam.***[abu hylmi]